Memenuhi kebutuhan Videography, Photography, Komputer, dan Internet. Visit Us Now!

Loading

Thursday, November 18, 2010

ONANG DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK ANGKOLA DI SUMATERA UTARA



DRA. ANNI KRISNA SIREGAR
Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia (budi-daya manusia). Budaya suatu suku bangsa merupakan suatu menampakan identitas diri dari suatu suku bangsa tersebut. Dengan demikian suatu suku bangsa dapat dukenal oleh dunia luar (suku bangsa lainnya) apabila suku bangsa tersebut sanggup memperkenalkan identitas dirinya lewat budayanya yang khas.

Sebagai suatu karya (budi-daya) manusia, maka kebudayaan senantiasa mengalami proses perubahan atau pergeseran nilai-nilai, pergeseran nilai-nilai atau perubahan ini disebabkan oleh dua faktor yang saling mempengaruhi yaitu :
perubahan yang disebabkan oleh manusia itu sendiri; dan perubahan/pergeseran
nilai-nilai yang disebabkan oleh instansi atau pranata-pranata sosial budaya itu
sendiri.

Bertolak dari perubahan dan pergeseran nilai-nilai ini,saya merasa tertarik untuk menulis tentang FUNGSI ONANG-ONANG DALAM UPACARA PERKAWINAN ADAT BATAK ANGKOLA. Landasan pemikiran dengan judul ini ialah jenis musik onang-onang adalah salah satu budaya seni tradisional yang merupakan sarana memperkenalkan suku bangsa Angkola secara khas dan sekaligus perlu untuk dilestarikan. Dalam rangka pemikiran ini dicoba untuk melihatnya dalam konteks budaya perkawinan adat Angkola.
Diharapkan dengan kerangka pemikiran di atas dapat menjadikan suatu landasan untuk selanjutnya kepada pihak yang bertanggung jawab atas bidang inimembina, memelihara dan melestarikan budaya suku demi memperkaya budaya Nasional.
Onang-onang adalah suatu jenis musik yang terdapat di daerah Batak Angkola yang hanya dipakai dalam pelaksanaan upacara adat nagodang. Istilah umum terhadap musik ini disebut juga Gondang. Kata gondang mempunyai tiga macam pengertian.
Pertama, gondang berarti ?instrumen?, yaitu gendang membreno phone) yang terdiri dari gondang inang atau gondang siayakon dan gondang pangayakan.
Kedua, gondang juga bisa berarti ?lagu?, yang juga pemakaiannya sesuai dengan adat seperti lagu untuk suhut sihabolonan disebut Gondang Suhut Sihabolonan; lagu untuk Mora disebut Gondang Mora.
Ketiga, Gondang juga dapat berarti? ansambel musik? yaitu intrumen-instrumen yang
tergabung dalam satu unit. Dengan demikian onang-onang adalah terdiri dari
beberapa unsur sebagaimana pengertian gondang diatas. Itu berarti pula bahwa
onang-onang hanya dapat dipakai dalam konteks upacara adat sehingga disebut
juga gondang maradat. Dengan pengertian lain, gondang ini hanya boleh ditampilkan
sejalan dengan dalihan natolu, yang artinya adalah merupakan landasan adat itu
sendiri.
Dari gambaran diatas, jelaslah satu keunikan (khas) dari gondang dan pemakaiannya. Keunikan yang dimaksud ialah bahwa upacara adat tidak dapat dilangsungkan tanpa disertai gondang, dan gondang sendiri tidak dapat ditampilkan dalam artian yang sempurna jika tanpa disertai dan di dalam upacara adat (tidak dapat dirasakan hikmahnya).

Untuk melihat dimana terletak makna ganda dari penampilan onang-onang itu sesungguhnya berangkat dari pemahaman di atas yang berhubungan dengan keunikan yang ada. Untuk jelasnya, makna yang pertama ialah bahawa dalam melaksanakan upacara adat, onang-onang mutlak disertakan dan penampilan onang-onang diluar upacara adat, kehilangan maknanya sendiri. Kedua, gondang yang terdiri dari tiga macam pengertian seperti yang telah diuraikan terdahulu, maka gondang dalam arti ?lagu? memberikan suatu pengertian/makna bahwa dalam pelaksanaan gondang tersebut sekaligus berlangsung suatu percakapan/penyampaian maksud yang diwujudkan melalui lagu atau
menyanyikannya. Disinilah letak makna ganda dari pelaksanaan onang-onang. Selain
makna ganda tersebut ini juga merupakan suatu ciri khas yang terdapat dalam upacara adat Batak Angkola.

Berbicara tentang perkembangan onang-onang berarti berbicara tentang sejarah, yaitu bagaimana hubungan budaya Angkola sekarang dengan dahulu.
Dalam karya ilmiah ini unsur-unsur sejarah tidak banyak disinggung dan yang ingin
diungkapkan pada bahagian ini ialah bahwa sekarang ini pelaksanaan gondang ini
terasa mengalami suatu ?kesukaran? dalam arti bahwa di satu pihak pelaksanaan
gondang dalam upacara perkawinan (upacara perkawinan adat nagodang) jarang dilakukan; dan pihak lain dalam pelaksanaan gondang ini sering mengalami kesulitan
dalam hal ini penyanyi yang harus mengetahui aturan-aturan adat, penortor yang
juga harus dapat menortor sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini terasa kurang
yang menguasainya, apa lagi kalangan muda/generasi muda.
Kesenian tradisional dan peradatan masyarakat Batak Angkola, terdapat pada buku : Seni Budaya Tradisional (Perkasa Alam 1981), Burangir Na Hombang (Perkasa Alam 1977), Ende Ungut-Ungut Tungkat Namoroban Lilu (Manullang Hutasuhut, 1981).

ADAT ISTIADAT BATAK ANGKOLA
Adat Batak menganut sistem garis keturunan Batak yang disebut patrilinial. Baik anak yang lahir laki-laki atau perempuan memperoleh marga dari bapak. Demikian juga seorang perempuan yang kawin dengan seorang laki-laki, dengan sendirinya ia masuk ke dalam lingkungan keluarga suaminya. Perkawinan dalam satu marga tidak dibenarkan dalam adat karena setiap orang yang marganya sama dianggap bahwa dia bersaudara kandung?.
Satu ciri yang membedakan suku batak dengan suku lainnya yang ada ialah sistem kekeluargaan yang disebut dalihan natolu. Sistem kekeluargaan ini merupakan tiga tungku/unsur yang merupakan lambang sistem sosial batak. Ketiga tungku/unsur itu ialah :
1. Kahanggi (abang-adik) yaitu pihak semarga turunan laki-laki dari satu nenek.
2. Anak boru (boru) yaitu semua anak perempuan dari marga laki-laki (saudara
perempuan kahanggi) beserta suaminya dan semua klen suami (wife receiving party).
3. Mora (wife giving party) yaitu orang tua dan saudara laki-laki dari istri.
Dalam setiap pelaksanaan adat Batak ketiga unsur ini mutlak harus hadir.
Ketiga unsur ini masing-masing pula punya kewajiban dan tanggung jawab.
1.2 Jenis Perkawinan di Angkola
Setiap perkawinan harus diresmikan secara adat, yang dilandasi oleh dalihan
natolu.
Di dalam suku Batak Angkola ada dua jenis perkawinan yaitu : (1) marlojong dan (2) dipabuat.

1. Perkawinan Marlojong
Lojong, artinya lari marlojong artinya berlari. Suatu perkawinan disebut marlojong apabila antara laki-laki dan perempuan ingin melakukan suatu perkawinan atas dasar suka sama suka tapi, jika seandainya mereka melaksanakan peminangan secara adat, mereka akan mendapat suatu kesulitan atau tidak akan diizinkan oleh orang tua mereka, kemudian mereka pergi meninggalkan rumahnya masing-masing menuju suatu tempat yang memungkinkan untuk melangsungkan suatu perkawinan. Dengan demikian mereka melangsungkan perkawinan tanpa suatu upacara peminangan atau pertunangan secara adat. Untuk melangsungkan perkawinan marlojong si wanita harus meninggalkan kain sebagai suatu tanda dirumah orang tuanya.
Biasanya perkawinan marlojong ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor penyebab antara lain seperti :
a. faktor orang tua kurang setuju.
b. faktor status sosial ekonomi yang berbeda.
c. faktor sistem adat yang tifak memungkinkan untuk dilaksanakan secara adat
(perkawinan sumbang)
d. faktor agama dan kepercayaan yang berbeda.
e. dan lain-lain.
Dampak negatif terhadap orang tua, baik terhadap orang tua laki-laki maupun orang tua perempuan dari tindakan perkawinan marlojong ini ialah : status dan martabat orang tua di mata masyarakat secara adat-istiadat sejak saat itu menjadi dipandang rendah/turun.

2. Perkawinan dipabuat
Dipabuat artinya diambil atau dipinang. Perkawinan ini adalah perkawinan yang paling lazim dilakukan, yang didasari atas suka sama suka oleh kedua calon pengantin, demikian juga kedua belah pihak orang tua mereka menyetujuinya. Pada
perkawinan semacam inilah dapat dilaksanakan adat namenek (adat kecil), adat
pakupangi (adat pertengahan), ataupun adat nagodang (adat besar). Apabila
perkawinan tersebut dilaksanakan dengan upacara adat maka berlakulah peraturan-
peraturan adat, dari mulai peminangan sampai pelaksanaan perkawinannya.
Perkawinan macam inilah yang akan kita berbicarakan pada bab-bab selanjutnya.
Dalam kawin marlojong, upacara perkawinannya dengan sendirinya akan dilakukan di luar upacara adat. Mungkin mereka akan keluar dari lingkungan
keluarga kedua belah pihak, dan dengan demikian mereka akan keluar dari lingkungan peradatan masyarakat Angkola. Namun demikian, masih terdapat kemungkinan bahwa hal ini dapat diselesaikan secara adat. Adapun penyelesaiannya adalah melalui musyawarah dari kedua belah pihak. Bila dari musyawarah ini dihasilkan suatu persetujuan untuk merestui atau menyelenggarakan perkawinan ini, maka perkawinan secara adat pun akan dilaksanakan. Dengan demikian mereka berdua dapat diterima kembali dalam lingkungan keluarga dan adatnya.
Bagi setiap orang, perkawinan merupakan suatu hal yang maknanya teramat penting, karena perkawinan dapat membuat suatu perubahan yang besar dalam kehidupan seseorang. Seorang sarjana Perancis, A Van Gennep, memberikan suatu pandangan tentang makna suatu perkawinan. Ia mengatakan bahwa perkawinan itu merupakan rites de passage (upacara peralihan), dengan melambangkan peralihan status kedua pengantin: dari kehidupan terpisah antara pribadi masing-masing berubah menjadi bersatu, bersama, di dalam suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Sehingga upacara perkawinan itu, menurut A Van Gennep, terdiri dari tiga stadia atau tahap:
1. Rites de separation (upacara perpisahan dari status semula).
2. Rites de merge (upacara peralihan ke suatu yang baru yakni proses peralihan)
3. Rites de deggregation (upacara penerimaan ke suatu tempat yang baru)
Begitu juga dalam masyarakt Batak umumnya, khususnya bagi masyarakat
Angkola, upacara perkawinan adalah upacara yang terpenting, karena hanya orang-
orang yang telah kawin sajalah yang berhak mengadakan atau mengikuti upacara
adat.

a. Tingkat Upacara Adat Perkawinan
Upacara adat perkawinan suku Batak Angkola dikenal tiga tingkatan yaitu :
1. Upacara Adat Namenek (upacara secara kecil atau sederhana)
2. Upacara Pakupangi (upacara menengah/pertengahan)
3. Upacara Adat Nagodang (upacara adat paling besar)

b. Pelaksanaan Adat Nagodang
Dalam pelaksanaan upacara adat nagodang ini, ada beberapa tahapan yang
harus dilaksanakan yaitu :
1. Martahi (musyawarah secara adat) sebanyak tiga kali
2. Upacara Mangkobar (pinangan guna dijadikan istri)
3. Upacara Pabuat Boru (mengambil pengantin perempuan)
4. Upacara Panaekkon Gondang (menaikkan seperangkatan gendang) yaitu
permintaan untuk memulai upacara adat perkawinan.
5. Upacara Manipolkon kosa, Manipolkan artinya memotong atau mematahkan hosa artinya nyawa. Manipolkan hosa artinya penyembelihan kerbau serta diiringi dengan gendang.
6. Upacara Penyambutan Indahan Tukkus Pasaerobu artinya : makanan yang dibungkus dan dibuat oleh pihak perempuan atau mora yang baru untuk diserahkan kepada pihak pengantin laki-laki. Ini juga diiringi dengan gondang dan tortor suhut sihabolonan.
7. Upacara Maralok-alok yaitu berbincang-bincang/musyawarah tentang pembagian
tugas dan tehnik pelaksanaan upacara adat nagodang pada hari puncak upacara
perkawinan.
8. Gondang dan Tortor Adat. Setiap penampilan gondang disertai dengan tortornya
kecuali gondang mula-mula (pembukaan) dan gondang susur (penutup). Dalam
penampilan gondang dan tortor ini pun mempunyai aturan tertentu serta urutan
yang tertentu.
9. Upacara Mata ni Karejo artinya ?puncak upacara? dalam pelaksanaan upacara
adat perkawinan. Beberapa tahapan yang dilaksanakan ialah sebagai berikut :
a. Gondang dan Tortor karajaon (sebelum acara agama)
b. Upacara penyambutan Mora (sesudah acara keagamaan)
c. Upacara Patuaekkon tu Tapian Raya Bangunan yaitu membawa kedua
pengantin ke sungai/pancuran untuk membersihkan diri dalam rangka
perpindahan status muda-mudi kepada orang tua.
d. Upacara pemberian upa-upa yaitu memberi makanan kepada pengantin
e. Menabalkan Goar yaitu pemberian nama baru kepada kedua pengantin dan
keluarga terdekat.
f. Gondang dan Tortor Adat secara berurutan dan bersama kedua pengantin.
Demikianlah secara garis besar gambaran umum pelaksanaan upacara adat
perkawinan Batak Angkola yang berlaku selama ini hingga hari ini.

2.1 Gondang
Seperangkat gondang Angkola yang lengkap terdiri dari :
a. gondang inang atau disebut juga gondang siayakon
b. gondang pangayak
c. ogung jantan
d. ogung betina
e. tali sayat
f. doal
g. suling
h. onang-onang
dari semua gondang ni hanya dibahas dalam bagian ini tentang onang-onang.

ONANG-ONANG
Onang-onang tidak dapat diartikan secara harafiah, namun beberapa sumber mengatakan bahwa asal kata onang adalah inang yang artinya ibu. Menurut informasi yang diperoleh dari Pangeran Ritonga, kisah terjadinya onang-onang adalah sebagai berikut:
Pada suatu ketika ada seorang yang sedang merantau dan sedang mendapatkan suatu kesusahan. Ia ingin pulang tetapi biaya tidak ada, sedangkan kerinduan hatinya tidak tertahan lagi. Pada saat kerinduan itu muncul, yang diingatnya adalah orang yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya. Untuk melepaskan kerinduannya itu ia cetuskan lewat suatu nyanyian dengan kata onang-onang. Dengan demikian mulanya onang-onang adalah suatu pencetusan perasaan kerinduan hati terhadap yang dikasihinya, yaitu ibu dan kekasihnya.
Menurut analisa maka lama kelamaan onang-onang ini berkembang pengertiannya, ia tidak hanya merupakan pencetusan kerinduan hati kepada ibu dan kekasinya, akan tetapi ia dipergunakan juga dalam suasana gembira.
Misalnya: upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan anak lahir. Kalau dahulu onang-onang dinyanyikan oleh seseorang untuk dirinya sendiri, saat sekarang ada juga (bahkan pada umumnya) onang-onang dinyanyikan untuk orang banyak (dalam
suasana gembira). Sehingga pada saat sekarang ini ada dua pembagian nyanyian
onang-onang : (1) onang-onang yang dilaksanakan oleh seseorang untuk dirinya
sendiri dalam mengungkapkan perasaan hatinya dan (2) onang-onang yang ditampilkan dalam upacara adat, yakni upacara perkawinan, memasuki rumah baru, dan anak lahir.
Untuk orang yang menyanyikan onang-onang dalam upacara adat disebut dengan paronang-onang, yang artinya penyanyi.
Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan upacara tersebut. Selain itu ia juga harus tahu kepada siapa nyanyian
itu ditujukan, agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang
dinyanyikannya. Misalnya, dalam upacara perkawinan, gondang yang pertama adalah Gondang Suhut Sihabolonan, maka paronang-onang harus menyesuaikan isi onang-onang tersebut sesuai dengan upacara perkawinan tersebut dan latar belakang kehidupan suhut sihabolonan. Oleh sebab itu syair onang-onang tidak mempunyai teks yang pasti, melainkan diciptakan oleh paronang-onang secara spontan. Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan dalam bentuk pantun.
Setiap paronang-onang tentu berbeda dalam menciptakan versi pantunnya, semakin kaya perbendaharaan pantun yang di kuasai paronang-onang akan semakin baik pula pantun yang dipergunakan dalam nyanyiannya. Panjang lagu onang-onang tidak ditentukan waktunya, ini tergantung kepada paronang-onang itu sendiri, juga melihat stuasi waktu yang disediakan dalam upacara ini.
Isi nyanyian onang-onang yang dipergunankan dalam ansambel gondang ada
enam macam, yakni : (1) pembukaan, (2) penjelasan maksud upacara, (3) cerita
latar belakang panortor, (4) pujian, (5) nasehat, dan (6) doa.
Pada nyanyian onang-onang terdapat bait-bait kata pembukaan, sebagai
pemberitahuan kepada kerabat yang hadir bahwa acara penampilan onang-onang
(gondang) mulai dibuka atau ditampilkan. Oleh karena itu bagian pembukaan ini
hanya ditampilkan satu kali saja yakni pada onang-onang yang mengiringi Gondang
Suhut Sihabolonan, yang merupakan gondang pertama dari setiap penampilan gondang. Paronang-onang menyampaikan kata pembukaan ini kepada seluruh kerabat yang hadir dan juga kepada orang yang menortor. Dalam isi pembukaan tersebut paronang-onang biasanya menyampaikan suatu pesan yang ditujukan kepada masyarakat Angkola umumnya, dan khusunya pada kerabat yang hadir pada saat upacara itu, agar tetap mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam musik gondang, baik dari aturan penampilannya maupun dari maknanya.
selanjutnya melalui paronang-onang pihak tersebut akan menyampaikan kata-kata
maaf dan sembah hormat kepada pihak mora, harajaon, hatobangon, raja adat, penusunan bulung, dan kepada seluruh kerabat yang hadir, apabila nanti ada
kekeliruan atau kesilapan di dalam penampilan gondang dan pelaksanaan upacara
tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat pada syair onang-onang di bawah ini, yakni
sebuah transkripsi bagian I dari Gondang Suhut Sihabolonan.

Gondang Suhut Sihabolonan
Ile onang baya onang
tapuka ma le tajolo mulai on
nda asok ma jolo le fikiri ada
ulang nda maruba nian ale luai on
sian najolo indu nda sannari on

Santabi nda jolo sappulu on
sappulu noli marsatabi on
tu jolo na dua le tolu on
lobi nda tarpasangapi on
ois nda taronang ale baya onang
----------------------------
Ile onang baya onang
mulailah kita buka dulu ini
pelan-pelanlah kita pikiri
janganlah hendaknya ada berubah
dari dahulu sampai sekarang

Maaf terlebih dahulu sepuluh kali maaf
Sepuluh kali mohon maaf
Ke hadapan dua tiga (seluruh kerabat yang hadir)
Terlebih-lebih kehadapan yang dihormati
Ois nda taronang ale baya onang

Onang-onang juga berisikan syair-syair yang merupakan penjelasan maksud upacara, yang ditujukan kepada kerabat yang hadir. Apabila ditinjau dari kata yang terdapat pada bagian ini, maka paronang-onang berperan sebagai penyambung lidah panortor (suhut sihabolonan) guna menjelaskan maksud dari upacara tersebut, sehingga dari isi bagian ini orang dapat lebih banyak mengetahui tentang maksud upacara yang sedang dilaksanakan. Paronang-onang dalam menyampaikan penjelasan tersebut, sudah tentu akan menyesuaikan syairnya dengan upacara yang sedang dilaksanakan. Misalnya, dalam upacara perkawinan paronang-onang akan menjelaskan bahwa pelaksanaan upacara itu adalah untuk menyambut menantu perempuan mereka. Dalam penjelasan tersebut paronang-onang akan menceritakan pula identitas dari masing-masing pengantin, seperti pengantin itu berasal dari marga apa, anak nomor berapa, dan tempat tinggalnya dimana. Isi bagian syair ini selalu ditampilkan pada setiap onang-onang. Contoh di bawah ini adalah transkripsi bagian II dari Gondang Suhut Sihabolonan, dan bagian III dan IV dari Godang Suhut Inanta Sori Pada.

Gondang Suhut Sihabolonan
Ile onang baya onang
on ma hape ni nietti
haroro nda paronang parumaen on
parumaen sian Dolok Saribu on
parumaen si akkaan on
ois nda taronang ale baya onang
-----------------------
Inilah maksud dari niat kami
menyambut kedatangan dari menantu perempuan kami
menantu perempuan dari marga Bolok Saribu
menantu dari anak yang pertama ini
menantu perempuan dari anak laki-laki tertua

Gondang Suhut Inanta Soripada
Ile onang baya onang
on man inanta soripada on
na didokkon boru Purba
inanta nda suhut bolon on
napuna hape nda cita-cita on
di haroro eh parumaen on
ois nda taronang ale baya onang

Ile onang baya onang
parumaen siakka on
i ma nda palalu baga-baga on
majolo sinuat tunasi
na halaman bagas na godang
indu di halaman tano Sipirok on
ois nda taronang ale baya onang
---------------------------------------------
Ile onang baya onang
inilah ibu yang terhormat ini
yang disebut marga Purba
ibu yang punya pesta ini
yang mempunyai cita-cita ini
di kedatangan menantu perempuannya

Ile onang baya onang
menantu perempuan yang tertua ini
inilah yang membuat kegembiraan ini (pesta ini)
terhadap anak laki-laki kami
di halaman rumah yang besar ini
itu di halaman kampung Sipirok
ois nda taronang ale baya onang.

Dalam onang-onang terdapat juga bagian yang menceriterakan latar belakang dari setiap panortor kepada seluruh kerabat yang hadir. Ceritera ini hanyalah mengenai hal yang baik-baik saja, sedangkan hal yang tidak baik mengenai penortor tidak pernah diceriterakan. Adapun ceritera latar belakang yang akan disampaikan adalah mengenai identitas dan keberhasilan dari setiap panortor, misalnya, kedudukan si panortor di dalam pesta itu sebagai apa, berasal dari marga mana, dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat dan lain-lain. Oleh karena itu paronang-onang secara umum harus pula mengetahui atau mengenai pribadi setiap orang yanmg manortor.
Apabila ditinjau dari arti kata dalam syairnya, maka fungsi dari bagian nyanyian ini merupakan suatu penjelasan untuk memperkenalkan si panortor kepada seluruh kerabat yang hadir, sehingga dari sana orang dapat mengetahui bagaimana hubungan si panortor terhadap pihak suhut sihabolonan, sekaligus juga orang menentukan tuturnya (kedudukan) dalam peradatan. Dengan demikian bagian nyanyian ini akan ditampilkan pada setiap nyanyian onang-onang. Dibawah ini adalah contoh dari transkripsi Gondang Suhut Inanta Soripada dari bait I, III, IV, transkripsi bait II dari Gondang Mora, dan bait II dari Gondang Suhut.

Gondang Inanta Soripada
Ile onang baya onang
onma inanta nda soripada i
na di dokkon boru purba i
naro sian tano onang ale Karo on
na dialap do nda Harahap on
inanta nda suhut sihabolonan on

Ile onang baya onang
inanta nda soripada on
ondo namora ni Harahap i
na di dokkon boru Purba nda

Ile onang baya onang
inanta nda boru Purba on
indu sian le tano Karo on
na dialap do nda Harahap on
na di dokkon boru inanta le soripada on
ois nda taronang ale baya onang
------------------------
Ile onang baya onang
inilah ibu yang terhormat ini
yang disebut boru Purba
yang datang dari tanah Karo
yang diambil oleh marga Harahap (istri dari marga Harahap)
ibu yang mempunyai pesta ini

Ile onang baya onang
ibu yang terhormat ini
inilah istri dari marga Harahap
yang disebut boru Purba

Ile onang baya onang
ibu boru Purba ini
yang datang dari tanah Karo
istri dari Harahap
ibu dari yang terhormat ini

Gondang Morga
Ile onang baya onang
haroro baya Raja nagodang on
naro sian Dolok Saribu on
on mada le nda mora nami on
na maroban holong ni roha
ois nda taronang ale baya onang
------------------
Ile onang baya onang
kedatang Raja yang besar ini
yang datang dari Dolok Saribu
inilah mora kami ini
yang membawa kesenangan di hati
ois nda taronang ale baya onang

Gondang Suhut Sihabolonan
Ile onang baya onang
on ma hape jolo ibana on
Harahap Sarjana ma Hukum on
na maroban le hasonangan on
di haroro le parumaen on
ois nda taronang ale baya onang
-------------------
Ile onang baya onang
inilah dulu rupanya dia
Harahap seorang Sarjana Hukum
yang telah melaksanakan kegembiraan ini
di kedatangan menantu perempuannya ini
ois nda taronang ale baya onang

3.1 Pujian
Bagian syair yang berisikan kata-kata pujian juga terdapat pada nyanyian onang-onang. Isi pujian ini ditujukan kepada setiap yang menortor. Dalam penyampaian pujian tersebut, paronang-onang selalu memperhatikan kedudukan sipanortor, baik dalam peradatan, dalampekerjaan, atau pun dalam kehidupan sehari-hari. Sama dengan menceriterakan latar belakang parnortor, paronang-onang selalu memberikan pujian mengenai hal-hal yang baik saja. Jika suhut inanta soripada yang menortor misalnya, maka paronang-onang akan memberikan pujian tentang kebijaksanaan sebagai istri atau kepandaiannya dalam mendidik anak. Jika mora yang manortor, maka isi pujiannya akan mengenai kesedian mora dalam memberikan berkat dan kesediaan mora dalam menghadiri upacara tersebut. Begitu pula kalau anak boru yang manortor mata kata pujian yang diberikan akan mengenai kerajinan mereka dalam membantu pelaksanaan pekerjaan di pesta tersebut. Contoh dibawah ini adalah transkripsi dari Gondang Suhut Inanta Soripada, bait IV dan V, dan bait I dari Gondang Mora

Gondang Inanta Soripada

Ile onang baya onang
inanta nda boru Purba on
na dialap si bayo Harahap on
tanda ma ho inang nda soripada
inang na malo nda marorotti
na malo baya sumaput lilungi

Ois nda taronang ale baya onang
Ile onang baya onang
inanta nda soripada on
inang na malo baya marorot on
na di dokkon boru Purba on
ima nda le ni mora ni Harahap on
Ois nda taronang ale baya onang
----------------------------
Ile onang baya onang
inilah ibu marga purba ini
yang diambil oleh marga Harahap ini
kelihatanlah kau seorang istri yang baik
ibu yang pandai mendidik anak
yang bijaksana di dalam keluarga
ois nda taronang ale baya onang

Ile onang baya onang
ibu yang bijak sana ini
ibu yang pandai mendidik anak ini
inilah ibu dari marga Purba
istri dari marga Harahap

Gonda Mora
Ile onang baya onang
di jomput ale dialo-alo on
dialo-alo ale sian tonga dalan
haroro baya ni mora ta no
na marobam lomo ni roha on
ois nda taronang ale baya onang
---------------------

Ile onang baya onang
dijemput dan disambut ini
kedatangan mora ini
yang telah membawa dan memberikan berkat kepada kita
ois nda taronang ale baya onang

3.2 Nasehat
Dalam nyanyian onang-onang terdapat juga bagian yang berisikan nasehat. Nasehat ini ditujuakan kepada pihak parnortor. Isi nasehat yang dismapaikan paronang-onang tentu saja harus disesuaikan dengan kedudukan yang manortor. Misalnya jika pihak suhut yang manortor, isi nasehat yang disampaikan padanya adalah untuk mengingatkan pihak suhut agar tidak juga mengucapkan syukur kepada Tuhan atas terlaksanaannya upacara tersebut. Jika pengantin (namora pule) yang menortor, maka isi nasehat yang diberikan ialah untuk hidup seia-sekata, sepenanggungan, baik dalam suasana duka maupun suka. Sebagai contoh dibawah ini ada dua bait syair yang berisikan nasehat, yang pertama adalah transkripsi bait VI dari Gondang Suhut Sihabolonan dan kedua bait I dari Gondang Namora Pule.

Gondang Suhut Sihabolonan
Ile onang baya onang
habang mada jolo si horkor on
jonggop tu aek doras on
muda habis munu amang, ale marnotor on
inda lupa mandokkonhoras on
horas ma nian ale madingin ni
ancopit tondi munu ale madingin ni
-----------------------
Ile onang baya onang
terbanglah dulu nyamuk ini
singgah di air yang deras ini
kalau sudah selesai menortor (menari)
jangan lupa berdoa dan mengucapkan syukur
agar badan tetapi mendapat keselatan
agar dapat mempunayi jiwa dan semangat yang teguh

Gondang Namora Pule
Ile onang baya onang
satahi hamu saoloan
salumpat saindegean
pas songon siali sampangul
rap tu ginjang rap tu toru
muda madabu rap madabu
muda marbustak rap marbustak
ois nda taroanag ale baya onang
------------------------
Ile onang baya onang
semupakat dan sekatalah
dan satu langkah dan satu pijakkanlah
bagaikan asam kincung yang setangkai
kalau ke atas sama ke atas
kalau jatuh sekali jatuh
kalau berlumpur sama berlumpur
ois nda taronang ale baya onang

3.3 Doa
Dalam nyanyian onang-onang terdapat juga bagian yang berisikan doa, untuk meminta perlindungan kepada Tuhan, meminta agar diberi umur yang panjang, diberikan kesehatan, dan meminta rejeki yang baik dalam kehidupannya. Bagian doa ini ditampilkan pada setaip penampilan gondang, ditujukan kepada setiap penortor dan kepada kerabat yang hadir. Dalam penyampain doa ini kadang-kadang paronang-onang berperan sebagai wakil dari yang menortor, dalam meminta perlindungan pada Tuhan, kadang-kadang ia berperan sebagai wakil dari seluruh kerabat yang hadir, yakni pada waktu menyampaikan doa yang ditujukan pada pihak suhut sihabolonan dan kedua pengantin. Contoh di bawah ini adalah transkripsi dari Gondang Suhut Sihabolonan pada bait V.

Gondang Suhut Sihabolonan
Ile onang baya onang
anggo muppat ale padang ale tobu on
mangihut si patobu jolo ale dalan ni
hupang doon ho baya nikku di Tuhan i
ulang be jolo le halanganna i
angke madung ro do parumaen on
parumaen baya siakkaan on
dison au mandoaon on
anso lolot hita jolo le mangolu i
disiono japar pangidoan i
onma bolas pangidoan nami
hamu do jolo ibana on
di taporan do Harahap on
ois nda taronang ale baya onang
------------------------
ile onang baya onang
kalau dicabut lalang ini
mengikuti semua yang tumbuh di jalan
kumintakan kau kepada Tuhan
supay jangan ada halangannya
sebab telah datang menantu perempuan ini
menantu dari anak yang tertua ini
di sini aku mendoakannya
agar kita lebih lama dapat hidup
di rumah yang berbahagia ini
inilah permintaan atau permohonan yang kami panjatkan
kepada kalian yang punya pesta ini
dari keturunan marga Harahap ini
yang telah mendirikan pesta ini
ois nda taronang ale baya onang.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia
Lubis, Z. Pangaduan, 1987. Penelitian Tekstual Dalam Jeir : Suatu Pengamatan
Awal Makalah Temu Wicara Etnomusikologi Indonesia III, Medan 2 s.d. 5 Pebruari 1987
Netll, Bruno, 1964. Theory and Methode in Etnomusikology New York : The Free Press.
Perkasa Alam, Tinggibarani, Ch. St. dkk., 1977. Buku Pelajaran Adat Tapanuli Selatan. Padang Sidempuan : n.p. Siahaan, Nalem, Drs. 1982. Adat Dalihan Natolu: Prinsip dan Pelaksanaannya.
Jakarta : Grafina.

SELENGKAPNYA BACA DISINI

Anda Lebih Bahagia Lagi Kalau Membaca Artikel ini:

0 comments:

Post a Comment