Memenuhi kebutuhan Videography, Photography, Komputer, dan Internet. Visit Us Now!

Loading

Wednesday, April 27, 2011

Merdi Sihombing: Banyak Wanita Batak Memilih Songket Palembang daripada Ulos Batak


[jarar siahaan; batak news; menjajah budaya sendiri]

Ia salah satu desainer top Indonesia. Ia berteriak lantang: justru orang Batak “memuja” songket Palembang dan “melupakan” ulos. Kini ia tengah mengerjakan proyek pengembangan ulos yang didukung negara asing, Austria. Ironis.

Merdi Sihombing“Wanita Batak sangat memuja, bangga, berlomba-lomba untuk memakai kain songket Palembang pada setiap momen yang berkesan buat hidupnya,” kata Merdi Sihombing pada imel yang dia kirim ke blog Batak News beberapa hari lalu. “Wanita Batak banyak mengoleksi kain songket Palembang yang ditawarkan dengan harga yang sangat fantastis sebagai prestise bahwa hidup mereka sangat berlebihan.”

Merdi adalah pria Batak yang pernah kuliah di Institut Kesenian Jakarta [IKJ], “tapi belum tamat.” Pada tahun 2002 ia sudah menjadi perancang busana langganan sejumlah selebritis, antara lain Feby Febiola, tulis harian Kompas — yang menyebut rancangan Merdi sebagai “keindahan dalam kesederhanaan”. Aku juga pernah melihat namanya tercantum sebagai desainer model cantik di majalah seksi Popular beberapa tahun silam.

Lantas kenapa [sebagian] perempuan Batak lebih memilih songket Palembang? Merdi menjawab, karena orang-orang berpengaruh di kalangan Batak, seperti seniman, rohaniawan, pengusaha, dan pejabat pemerintah tidak peduli melestarikan dan mengembangkan ulos. Ia menilai, hanya pedagang dan pengrajin uloslah yang peduli pada kain dengan tiga warna khas itu — hitam, merah, dan putih.

Kualitas ulos pun secara umum kurang memadai. Kembali lagi, ini terjadi karena kurangnya perhatian dari orang-orang berpengaruh tadi. Masih banyak hal yang perlu dibenarkan, kata Merdi. Misalnya kualitas benang, komposisi dan warna, termasuk promosi.

Danau Toba pada tahun 2010 telah dicanangkan pemerintah sebagai tujuan wisata yang akan menjadi sumber pendapatan beberapa kabupaten. Tapi hingga kini upaya-upaya mendukung program tersebut, termasuk salah satunya pengembangan ulos, dinilai nyaris tidak terdengar.

Kata Merdi, para politikus Batak ramai-ramai ingin mewujudkan Propinsi Tapanuli dengan semboyan dan harapan yang muluk-muluk, tapi mereka tidak memikirkan masyarakat bawah yang berpenghasilan dari membuat ulos sebagai pelengkap tujuan wisata.

Kalau kita tidak ingin ulos semakin hilang dilindas pengaruh budaya lain, maka semua pihak harus berusaha mengubah pemikiran yang kerap muncul di kalangan wanita Batak bahwa, “Ulos tidak berharga, kuno, kasar, tidak indah, it’s not cool.”

Secara teknis aku buta tentang penerapan motif ulos pada busana modern. Tapi kupikir seorang Merdi sangat menguasainya, dan itulah yang dia pikirkan dan kerjakan selama ini. Mungkin pendapat Dewi Motik pada tahun 1980 berikut ini masih relevan untuk disimak dan dijadikan pemacu hasrat kita sebagai pencinta ulos:

“Kesukaran saya, sebagian besar warna ulos itu gelap. Juga lebar kainnya yang cuma 60 cm, sehingga tidak mudah dikembangkan untuk model-model rok yang lebih bebas.”

Merdi Sihombing adalah desainer kebanggaan Indonesia. Tahun ini ia ditunjuk pemerintah sebagai salah satu dari 12 fesyen desainer untuk pengembangan kain tenun tradisional. Ia pun sering berpameran bersama perancang busana papan atas sekelas Oscar Lawalata, Ghea Panggabean, dan Samuel Wattimena. Tahun lalu ia mengangkat kain tradisional suku Badui dalam sebuah pameran setelah mengamati suku tersebut selama tiga tahun.

Ia juga bangga menjadi orang Batak. Suratnya padaku “marpasir-pasir” alias berbahasa Indonesia yang dicampur bahasa Batak.

Tanggal 5 besok ia berada di Medan. Tanggal 8 di Pulau Samosir selama tiga hari untuk pemotretan keperluan buku ulos Batak, Natural Thing. Tanggal 11 menyeberang ke Muara, kecamatan kecil nan indah di tepi Danau Toba. Tanggal 13 baru akan kembali ke Jakarta.

Selamat berkarya, Lae Merdi. Hanya dengan tulisan pendek ini aku bisa membantu cita-citamu mengangkat derajat ulos kita. [www.jararsiahaan.com]
Adobe CS5 Training

CATATAN BATAK NEWS: Seusai menulis artikel ini aku teringat pada sejumlah kawan dan familiku, orang-orang Batak di Balige, yang dengan alasan ajaran agamanya rela membakar ulos. Duh, menyedihkan: mengaku orang Batak tapi tidak mau memakai ulos.

Foto di atas adalah gambar Merdi [kanan] bersama Nai Marudut boru Situmorang — seorang pengrajin ulos dengan alat-tenun tangan di Desa Lumban Suhisuhi, Kabupaten Samosir. Ulos buatan Nai Marudut pernah diberikan kepada Paus Yohanes Paulus II ketika berkunjung ke Indonesia pada 1990.

Charly Silaban dan ReginaSementara foto di sebelah ini adalah gambar pengantin Charly Silaban dan istrinya, Regina, yang dengan bangga mengenakan ulos Batak — walaupun pihak orangtua sempat menganjurkan memakai songket Palembang. Mereka melangsungkan pernikahan di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumut, sebulan lalu.

Selamat menempuh hidup baru, kawan. Maafkan aku karena tak sempat hadir pada hari yang berbahagia itu. [www.blogberita.com]

RELATED ARTIKEL :
http://bataknews.wordpress.com/2007/07/04/desainer-merdi-sihombing-tak-sedikit-wanita-batak-memilih-songket-palembang-daripada-ulos-batak/

Anda Lebih Bahagia Lagi Kalau Membaca Artikel ini:

0 comments:

Post a Comment